YAYASAN AL-ISTIQOMAH KAJEN

Sunday, July 20, 2025

*SAMBUTAN KETUA PANITIA PADA ACARA TASYAKKUR KHOTMIL QUR'AN DAN WISUDA TA. 2024/ 2025*



*SAMBUTAN KETUA PANITIA PADA ACARA TASYAKKUR KHOTMIL QUR'AN DAN WISUDA TH. 2025*



اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

أَلْحَمْدُ للهِ، اَلَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدىْ وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لآ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ, وَالصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ عَلَی حَبِيْبِ اللّٰه مُحَمَّدِ بْنِ  اللّٰه وَ عَلَی اٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَ مَنْ وَالَاه, وَقَالَ اللّٰهُ تَعَلَى فِى الْقُرْ أَنِ الْكَرِيْم  بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم  

اِنَّا أَنْزَالْنَاهُ قُرْأَنًا عَرَبِيًا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْن. اَمَّا بَعْدُ


Yang sama-sama kita hormati dan kita muliakan para  'ALIM ULAMA, para sesepuh. Yang sama-sama kita hormati pula para guru-guru kita, para orang Tua kita, wabil khusus Kepada Bpk. Drs. AZHARI selaku ketua YAYASAN AL-ISTIQOMAH KAJEN Tak ketinggalan para BAPAK dan IBU GURU di yayasan Al-Istiqomah Kajen, yang kami hormati pula Bapak kuwu Marikangen beserta perangkatnya baik sipil maupun non sipil. rekan-rekan remaja semua yang saya cintai dan saya banggakan, para bapak2 dan ibu2 semua dan santriwan santriwati yayasan Al-Istiqomah Kajen yang sudah menyempatkan hadir dalam acara ini.

Pertama-tama marilah kita panjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan nikmat, rahmat dan hidayahnya kepada kita semua. Salah satu nikmatnya adalah kita bisa berkumpul dalam acara Tasyakkur khotmil Qur'an, wisudah dan kelulusan dari mulai tingkat PAUD, TKQ, TPQ dan MDTU AL-ISTIQOMAH ini. Semoga acara ini di berkahi dan di ridhoi Allah SWT. 


Kedua kalinya sholawat beserta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada baginda kita Nabi Muhammad SAW. Beliaulah pemilik syafa'at yg di nanti-nantikan semua umat manusia. Semoga kita semua  mendapatkan syafa'at beliau.. aamiin

Selanjutnya , izinkan kami mengucapkan terima kasih kepada semua para DONATUR baik dari dalam maupun luar negri khususnya saudara2 kita yg sedang bekerja di TURKI kami haturkan beribu2 terimakasih atas sumbangsihnya baik moril maupun materil. (Semoga saudara2 yg sedang bkerja di TURKI DIBERIKAN KESEHATAN, di mudahkan urusannya dan hasil maqsud) aamiin. Dan tak ketinggalan pula ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada bapak-bapak, ibu2 warga Desa Marikangen khususnya blok Kajen serta rekan-rekan remaja yang sudah merelakan waktu, tenaga, pikiran, sumbangaih moril maupun materilnya, sehingga kami bisa menyelenggarakan acara ini dan terimakasih juga kepada semua yang sudah menyempatkan hadir dalam acara ini. Kehadiran kita di sini adalah bukti komitmen kita untuk terus meningkatkan mutu silaturahmi dan meningkatkan cinta kita kepada Al-qur'an, ilmu dan kepada nabi Muhammad SAW. 


Terakhirkalinya saya mengucapkan beribu-ribu mohon maaf apabila dalam penyambutan dan penyelenggaraan acara ini masi banyak kekurangan disana sini. Mungkin tempatnya kurang memadai dan jamuan yang kurang memuaskan, mohon di maafkan, akhir kalam

وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه



Friday, June 27, 2025

Bacaan saat prosesi sungkuman



Setiap akhir Tahun Ajaran pendidikan biasanya ada momen sungkeman murid ke guru. Dimana momen ini menjadi momen haru yang biasanya cukup menguras emosi dan air mata tentunya bagi murid yang sangat menikmati proses pembelajaran di sekolah hingga rasanya sangat berat harus meninggalkan masa-masa yang telah dilalui baik bersama teman-nya, guru maupun lingkungan sekolah. Prosesi sungkuman juga biasanya terjadi saat acara nikahan dimana pengantin pria maupun perempuan sungkeman kepada orang tua maupun mertuanya. 


Prosesi ini akan menjadi bermakna jika ketika sungkeman perpisahan kelas akhir, GURU yang di sungkemin. Atau pas momen sungkeman PERNIKAHAN (Orang tua/orang yang di sungkemin). Jangan hanya diam trus nangis haru  saat momen ini. Alangkah baiknya membaca ini.


"رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ" 


artinya: "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." 

*harapannya agar orang yang di do'akan menjadi orang yang berguna dan terpelihara dari siksa api neraka atau murka Allah*


Penjelasan:

Ayat ini merupakan bagian dari Surat Ali Imran ayat 191, yang berisi pernyataan dari orang-orang yang berakal (ulil albab) tentang penciptaan langit dan bumi. Mereka menyadari bahwa penciptaan alam semesta bukanlah sesuatu yang sia-sia, melainkan penuh dengan hikmah dan tujuan. Ayat ini menekankan kebesaran Allah dan perlindungan-Nya bagi hamba-hamba-Nya dari siksa neraka. 

Makna Ayat:

رَبَّنَا (Rabbana): Ya Tuhan kami.

مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا (maa khalaqta haadza baathilan): Tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia.

سُبْحَانَكَ (subhaanaka): Maha Suci Engkau.

فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (faqina 'adzaaban naar): Maka peliharalah kami dari siksa neraka.

Tafsir Pendek:

Ayat ini menyampaikan rasa syukur dan pengakuan terhadap kebesaran Allah atas penciptaan alam semesta. Orang-orang yang berakal merasa bahwa alam semesta ini memiliki makna dan tujuan yang mendalam, dan bukan sesuatu yang sia-sia. Mereka memohon kepada Allah agar dijauhkan dari siksa neraka, yang merupakan hukuman bagi orang-orang yang tidak beriman dan tidak menjalankan perintah-Nya. 

Kaitan dengan Ayat Lain:

Ayat ini sering dibaca bersama dengan ayat 190 dari Surat Ali Imran, yang berbunyi: 


 إِنَّ فِی خَلۡقِ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَـٰفِ ٱلَّیۡلِ وَٱلنَّهَارِ لَـَٔایَـٰتࣲ لِّأُو۟لِی ٱلۡأَلۡبَـٰبِ 

"Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan, kebesaran, dan hikmah Allah) bagi orang-orang yang berakal." Ayat 190 ini menjadi latar belakang bagi ayat 191, yang menjelaskan bagaimana orang-orang yang berakal merenungkan penciptaan tersebut dan memohon perlindungan kepada Allah. 


Thursday, June 5, 2025

الصلوات البدرية للشيخ محمود مختار رحمه الله

 


الصلوات البدرية للشيخ محمود مختار  رحمه الله


صلاة الله سلام الله

على المختار عندالله

محمد نبن عبد الله

واهل   البدر يا الله

Ya Allah,  semoga solawat dan salam atas nabi yg terpilih di sisi Allah  nabi muhammad bin Abdullah dan jg atas ahli badar.

الهى قد توسلت اليك لكل ما رمت       فكن لى عندما احتجت   باهل البدر يا الله

Ya Allah ya tuhanku , aku mohon dg sangat  kpdMu  segala apa yg kuinginkan.

Semoga Engkau memberikan tanggungan kpdku di

kala aku punya hajat,

berkat kemuliaan ahli badar.

الهى فاغفر الذنبا  وتب واستر لى العيبا    وفرج 

عني الكربا     باهل البدر

يا الله

Ya Allah ya tuhanku , ampunilah dosaku , terimalah tobatku ,  tutuplah aibku dan lepaskanlah kesusahanku,  berkat kemuliaan ahli badar.

الهى واصرف الكيدا    من 

الشيطان والاعدا     ورد

عليهم بعدا  باهل البدر 

يا الله

Ya Allah ya tuhanku, bebaskan tipu daya syetan dan para musuh dan lepaskan mereka sejauh jauhnya, berkat kemuliaan ahli badar.

الهى واكفنى الرزقا  وهب لى العلم والحقا   وحسن

الخلق والخلقا   باهل البدر 

يا الله

Ya Allah ya tuhanku, 

cukupkanlah rizkiku , berikanlah kpdku ilmu dan kebenaran serta rupa dan akhlak yang baik, berkat kemuliaan ahli badar.

الهى واهدنى السرا   واوزعنى لك الشكرا

كذا واختم لي الخيرا 

باهل البدر يا الله.

Ya Allah ya tuhanku, tunjukkanlah batinku , tunjukkanlah aku untuk bersukur kpdMu serta akhirilah hidupku dg  kebaikan, berkat kemuliaan ahli badar.

 الهى واجز عن كل   نبيا

خاتم الرسل  صلاة تنجى

من هول  باهل البدر يا الله

Ya Allah ya tuhanku,

berikan balasan kpd nabi rasul terakhir dari semuanya itu ( doa2 yg dipanjatkan ) dg sholawat yg menyelamatkan dari segala hal yg mengerikan, berkat kemuliaan ahli badar.

Saturday, March 8, 2025

SALAH PAHAM TENTANG MERAPATKAN & MELURUSKAN SHAFF DALAM SHOLAT

dari Buya Amar Ma'ruf

SALAH PAHAM TENTANG MERAPATKAN & MELURUSKAN SHAFF DALAM SHOLAT

Awalnya, kami ingin menyusun artikel tentang permasalahan “meluruskan dan merapatkan shaff” secara luas dan detail. Akan tetapi, karena telah ada beberapa penulis yang menyusunnya, maka niat tersebut kami urungkan. Kali ini kami hanya akan fokus untuk membahas kekeliruan dalam hal memahami dan mengamalkan hadits-hadits tentang merapatkan dan meluruskan shaff saja. Dikarenkan masih sangat sedikit yang membahasnya.

Telah dimaklumi bersama, bahwa sebagian saudara-saudara kita, mempraktekkan hadits-hadits tentang merapatkan shaff dengan cara menempelkan mata kaki dengan mata kaki dan bahu dengan bahu ketika mulai shalat. Bahkan ada kejadian-kejadian yang lebih dari itu, seperti kondisi “mengangkang”, “mengejar” kaki orang lain, dan “tarik baju orang” yang tidak menempelkan mata kakinya.

Insya Allah, kita akan bahas masalah ini secara obyektif dan adil. Tanpa ada niatan untuk menyudutkan atau ingin merendahkan pihak tertentu. Akan tetapi, hanya semata upaya untuk meluruskan suatu permasalahan yang telah berlangsung lama dan diyakini sebagai sesuatu yang benar.

Mereka yang berpendapat bahwa merapatkan shaff dengan cara menempelkan mata kaki dengan mata kaki dan bahu dengan bahu, berdalil dengan beberapa hadits.

Diantaranya hadits dari Anas bin Malik –radhiallohu ‘anhu- beliau berkata, Rosulullah –shollallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :

أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ، فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي، وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ، وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ»

“Luruskan shaff-shaff kalian ! maka sesungguhnya aku aku melihat kalian dari belakang punggungku.” (Anas bin Malik berkata ) : Dan adalah salah satu dari kami melekatkan pundaknya dengan pundak sahabatnya dan telapak kakinya dengan telapak kaki sahabatnya.” [ HR. Al-Bukhari : 725 ].

Hadits ini bisa dijelaskan dari beberapa sisi :

[1]. Yang dimaksud dengan kata “melekatkan/menempelkan” pundak dengan pundak dan telapak kaki dengan telapak kaki, bukanlah makna hakiki. Akan tetapi suatu kata yang dimaksudkan untuk “penyangatan” saja. Bukan benar-benar nempel antara mata kaki dan pundak. Hal ini dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- :

الْمُرَادُ بِذَلِكَ الْمُبَالَغَةُ فِي تَعْدِيلِ الصَّفِّ وَسَدِّ خَلَلِهِ

“Yang diinginkan dengan hal itu, berlebihan/penyangatan dalam meluruskan shaf dan menutup (mengisi) celah-celahnya (yang masih kosong).” [ Fathul Bari : 2/211 ].

Jadi makna hadits di atas, para sahabat berusaha untuk merealisasikan perintah nabi untuk meluruskan dan merapatkan shaf dengan sangat baik, sampai “seolah-olah” mereka menempelkan mata kaki dan pundak mereka dikarenakan sangat rapatnya. Bukan berarti benar-benar nempel. Ini salah satu uslub bahasa Arab dimaklumi oleh siapapun yang telah mempelajarinya.

Dalam bahasa Indonesia pun ada seperti ini. Misalnya ketika kita mau dipinjami uang oleh teman kita, maka kita akan menjawab : “Maaf, saya lagi tidak punya uang.” Jawaban ini bukan berarti kita tidak punya uang sama sekali. Akan tetapi maksudnya, kita punya uang cuma sedikit, “seolah-olah” tidak punya uang.Atau kalau kita sebagai seorang ustadz, lalu kita bicara kepada hadirin : “Mohon duduknya merapat !”. Bukan berarti harus sampai nempel kaki dan badan mereka. Kalau demikian, nanti malah tidak bisa atau minimal terganggu saat mau menulis. Disamping juga ada rasa risi tentunya.

Ternyata, pemahaman Al-Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- terhadap hadits di atas, merupakan pemahaman aimatul arba’ah (Imam Madzhab yang empat, yaitu Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hambal). Seperti apa yang telah dinyatakan oleh Imam Muhammad Anwar Syah Al-Kasymiri Al-Hindi (w.1353 H) –rahimahullah- :

قال الحافظ: المراد بذلك المبالغة في تعديل الصفِّ وسدِّ خلله. قلتُ: وهو مراده عند الفقهاء الأربعة


“Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata : “Yang diinginkan dengan hal itu, berlebihan/penyangatan dalam meluruskan shaf dan menutup (mengisi) celah-celahnya (yang masih kosong).” Aku (Al-Kasymiri) berkata : DAN INILAH (MAKNA) YANG DIINGINKAN OLEH PARA IMAM YANG EMPAT.” [Faidhul Bari ‘Ala Shahih Al-Bukhari : 2/302 ].

Jika imam madzhab yang empat saja TELAH SEPAKAT memahami demikian, maka pemahaman yang keluar darinya, berarti telah menyelisihi pendapat yang disepakati oleh mereka. Dan seperti ini, dikatagorikan oleh Imam Al-Qarafi –rahimahullah- “seperti” menyelisihi ijma’ (konsensus ulama’). Artiya, kesepakatan mereka memiliki kedudukan yang sangat kuat, hampir-hampir mendekati ijama’’.Sehingga sangat tercela jika ada yang menyelisihinya.

Imam Ibnu Rajab Al-Hambali –rahimahullah- berkata :

وحديث أنس هذا يدل على أن تسوية الصفوف : محاذاة المناكب و الأقدام

“Hadits Anas ini menunjukkan, sesungguhya meluruskan shaf itu (maksudnya) : pundak dan kaki setentang/sejajar (bukan nempelnya yang diinginkan).” [ Fathul Bari : 6/282 ].

Seorang alim salafy, asy-syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin –rahimahullah- juga menjelaskan sebagaimana yang dipahami oleh para imam yang telah berlalu penyebutannya. Bahkan beliau menambahkan, bahwa penempelan mata kaki dengan mata kaki dan pundak dengan pundak itu hanya sarana (alat ukur) untuk menentukan kelurusan dan kerapatan shaf saja. Begitu sudah lurus, tidak ditempelkan lagi.
Kemudian shalat baru dimulai.

Beliau –rahimahullah- berkata :

الصحابة -رضي الله عنهم- فإنهم كانا يسوون الصفوف بإلصاق الكعبين بعضهما ببعض ، أي أن كل واحد منهم يلصق كعبه بكعب جاره لتحقق المحاذاة وتسوية الصف، فهو ليس مقصوداً لذاته لكنه مقصود لغيره كما ذكر بعض أهل العلم، ولهذا إذا تمت الصفوف وقام الناس ينبغي لكل واحد أن يلصق كعبه بكعب صاحبه لتحقق المساواة،وليس معنى ذلك أن يلازم هذا الإلصاق ويبقى ملازماً له في جميع الصلاة.

“Para sahabat, sesungguhnya mereka meluruskan shaf dan melekatkan dua mata kaki sebagian mereka dengan sebagian yang lain, ARTINYA : sesungguhnya tiap satu dari mereka melekatkan mata kaki dengan mata kaki orang di sampingnya UNTUK MEWUJUDKAN  KESETENTANGAN DAN KELURUSAN SHAF. Dan ini (melekatkan mata kaki dan pundak), bukanlah sesuatu yang dimaksudkan. Akan tetapi ia merupakan sesuatu yang dimaksudkan untuk (mewujudkan) sesuatu yang lain, sebagaimana hal ini telah disebutkan oleh para ulama’. Oleh karena itu, jika shaf telah sempurna (penuh) dan manusia telah berdiri, seyogyanya setiap orang untuk menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya untuk merealisasikan kelurusan (shaf). BUKANLAH HAL ITU BERMAKNA, BAHWA SEORANG HARUS MENEMPELKAN(NYA) SECARA TERUS SEPANJANG SHALATNYA.” [Fatawa Arkanil Islam : 312 ].

Pendekatan penjelasan Asy-Syaikh –rahimahullah- di atas seperti ini. Dalam baris berbaris, ada perintah dengan istilah “Lencang kanan” atau “setengah lencang kanan”. Dua perintah ini, hanyalah “alat” untuk meluruskan dan merapatkan barisan. Nanti setelah lurus, maka tangan diturunkan. Bukan berarti tangan harus lencang terus. Ini perkara yang kita maklumi bersama.

Asy-Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid–rahimahullah- berkata :

فهذا فَهْم الصحابي - رضي الله عنه - في التسوية: الاستقامة, وسد الخلل, لا الإِلزاق وإِلصاق المناكب والكعاب

“Makna ini (apa yang disampaikan Ibnu Hajar) merupakan pemahaman para sahabat –radhiallahu ‘anhum- dalam meluruskan (shaf), yaitu : lurus dan menutup celah, bukan melekatkan dan menempelkan pundak dan mata kaki.” [ La Jadida fi Ahkamish Shalat : 12 ].

[2].Bahkan, amaliah sebagian orang yang melekatkan mata kaki dan pundak mereka dengan mata kaki dan pundak orang yang ada di samping kanan dan kiri mereka, termasuk perbuatan yang ghuluw (melampaui batas), takalluf (memaksakan diri) serta aneh. Kenapa ? karena tidak ada satupun dalil yang menujukkan kepadanya dan tidak ada para ulama’ –sejauh pengetahuan kami- yang memahami dan mengamalkan demikian.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin –rahimahullah- berkata :

ومن الغلو في هذه المسألة ما يفعله بعض الناس من كونه يلصق كعبه بكعب صاحبه ويفتح قدميه فيما بينهما حتى يكون بينه وبين جاره في المناكب فرجة فيخالف السنة في ذلك، والمقصود أن المناكب والأكعب تتساوى

“Termasuk perbuatan ghuluw (melampaui batas) dalam masalah ini (merapatkan dan meluruskan shaf), apa yang dilakukan oleh sebagian manusia, berupa melekatkan mata kakinya dengan mata kaki sahabatnya, dan membuka kedua kakinya (ngangkang) di antara keduanya, sehingga terjadi celah/jarak antara pundaknya dengan pundak temannya. Maka dia telah menyelisihi sunnah dalam hal itu. Padahal yang dimaksud, pundak-pundak dan mata kaki-mata kaki itu bisa lurus (bukan melekatnya).” [ Fatawa Arkanil Islam : 312 ].

Asy-Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid–rahimahullah- berkata :

فإِن إِلزاق العنق بالعنق مستحيل, وإِلزاق الكتف بالكتف في كل قيام, تكلف ظاهر. وإِلزاق الركبة بالركبة مستحيل, وإِلزاق الكعب بالكعب, فيه من التعذر, والتكلف

“Melekatkan pundak dengan pundak dalam setiap berdiri (ketika shalat) termasuk perbuatan takalluf (memberatkan diri) yang sangat jelas. Melekatkan lutut dengan lutut, perkara yang mustahil. Melekatkan mata kaki dengan mata kaki, di dalamya terdapat perkara yang sangat sulit (terwujud) dan memberatkan diri.” [ La Jadida : 11 ].

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafidzahullah- berkata :

وليس معنى رص الصفوف ما يفعله بعض الجهال اليوم من فحج رجليه حتى يضايق من بجانبه؛ لأن هذا العمل يوجد فرجا في الصفوف، ويؤذي المصلين، ولا أصل له في الشرع

“Bukanlah makna merekatkan shaf, apa yang dilakukan oleh sebagai orang-orang bodoh di hari ini berupa perenggangan (ngangkang) kedua kakiya sampai menyempitkan orang yang di sisinya. Karena sesungguhnya amalan ini akan didapatkan celah di dalam shaf, menganggu orang yang shalat, serta tidak ada asalnya dalam syari’at.” [ Al-Mulakhash Al-Fiqhi : 124 ].

[3]. Merapatkan shaf, bukan berarti tanpa ada celah. Akan tetapi diperlukan celah untuk mendapatkan kenyamanan dalam melakukan gerakan-gerakan shalat. Dimana kadar celahnya tidak terlalu lebar, namun juga tidak sampai mepet/nempel. Celah yang dilarang itu jarak antara dua orang yang bershaf yang bisa di isi oleh satu orang atau lebih.
Adapun jika kurang dari itu, maka ini dianjurkan.

Imam Muhammad Anwar Syah Al-Kasymiri Al-Hindi –rahimahullah- menyatakan :

أي أن لا يَتْرُكَ في البين فرجةً تَسَعُ فيها ثالثًا. بقي الفصل بين الرجلين: ففي «شرح الوقاية» أنه يَفْصِلُ بينهما بقدر أربع أصابع، وهو قول عند الشافعية، وفي قولٍ آخر: قدر شبر.

“Artinya : Janganlah seorang meninggalkan celah/jarak di antara (dia dan orang di sampingnya) yang bisa digunakan untuk satu orang ketiga di dalamnya. Telah tetap adanya jarak antara kedua kaki. Di dalam “Syarh Al-Wiqayah” : Sesungguhnya seorang menyela di atara keduanya seukuran EMPAT JARI. Ini merupakan pendapat Asy-Syafi’iyyah. Dalam pendapat lain, : satu jengkal.” [ Faidhul Bari : 2/302 ].

Jadi yang dimaksud sabda nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- :

وسدوا الخلل ولا تذروا فرجات للشيطان

“Tutuplah celah-celah dan jangan kalian tinggalkan celah-celah untuk syetan.”

Maksudnya, yang dilarang adalah meninggalkan celah yang bisa ditempati oleh satu orang. Bukan berarti tidak ada celah/jarak sama sekali. Seperti kalau nabi memerintahkan kita untuk shalat di awal waktu, bukan berarti kita sudah harus takbiratul Ihram pas detik pertama waktu shalat masuk. Tapi ada jaraknya, untuk berpakaian, untuk wudhu, dan juga berjalan ke masjid. Ini perkara yang dimaklumi bersama. Simak ucapan Ibnu Daqiqil Ied dalam kitabnya “Al-Ihkam” : 2/38.

Hal ini didasarkan berbagai indikasi, diantaranya :

■Kita diperintah untuk melembutkan diri dalam bershaf. Dan hal itu tidak akan terwujud kecuali ada jarak di antara orang-orang yang shalat.  Sebagaimana dalam sebuah hadits, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :

خياركم أَلينكم مناكب في الصلاة

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling lunak/lembut pundaknya di dalam shalat.” [ HR. Abu Dawud ].

Menurut Al-Khathabi –rahimahullah- Kalimat  “paling lembut pundaknya”, maknanya :

ومعناه لزوم السكينة في الصلاة, والطمأْنينة فيها, لا يلتفت ولا يحاك منكبه منكب صاحبه

“Terus menerus tenang dalam shalat, tidak menoleh dan pundaknya tidak memotong (mengoyang) pundak orang lain.” [ Ma’alim Sunan lewat “La Jadida” : 14 ].

Menurut Al-Munawi –rahimahullah- :

ولا يُحاشر منكبُهُ منكبَ صَاحِبه

“Pundaknya jangan sampai berdesakan dengan pundak sahabatnya.”[Faidhul Qadir : 3/466].

■Dalam sebagian gerakan-gerakan shalat, sangat membutuhkan adanya jarak antara orang yang satu dengan yang lain, seperti mengangkat tangan ketika takbir, saat bersedekap, posisi tangan saat rukuk dan sujud yang dijauhkan dari tubuh, saat duduk tasyahhud terkhusus ketika tasyahhud akhir dengan posisi tawwaruk.

Apakah bisa jika tidak ada jarak, kita mengamalkan hadits nabi yang memerintahkan kita untuk merengangkan atau menjauh tangan dari rusuk saat sujud misalkan ? tidak bisa.
Oleh karena itu standar jarak dalam bershaf, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab “Bughyatul Mustarsyidin” (140) :

وتعتبر المسافة في عرض الصفوف بما يهيأ للصلاة وهو ما يسعهم عادة مصطفين من غير إفراط في السعة والضيق

“Dan jarak yang dianggap (diakui) dalam lebar shaf-shaf dengan apa yang seorang bisa mempersiapkan dan mengatur shalat. Dan ia adalah apa yang secara adat mencukupi mereka, orang-orang yang bershaf tanpa berlebihan dalam keluasan dan kesempitan.”

Adapun hadits dari An-Nu’man bin Al-Basyir –radhiallohu ‘anhu- berkata :

وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ

“Aku melihat seorang dari kami melekatkan mata kakinya dengan mata kaki sahabatnya.”

Ucapan ini disebutkan oleh Al-Bukhari dalam “Shohih-nya” secara mu’allaq (1/146) di bawah Bab : “Melekatkan Pundak Dengan Pundak Dan Telapak Kaki Dengan Telapak Kaki Di Dalam Shaf” [ Lihat “Al-Fath” : 2/122 ].

Maka ada beberapa jawaban :

»Pertama : Jika memang tata cara merapatkan shaf dengan cara menempelkan mata kaki dengan mata kaki dan pundak dengan pundak, kenapa yang mengamalkan hanya “seorang” saja ? kemana yang lain dari para sahabat. Padahal, para sahabat adalah generasi yang paling bersemangat dalam kebaikan dan sunnah.

Bahkan dalam “Musnad Al-Mushili” disebutkan, bahwa perbuatan tersebut disempat dicela oleh Anas bin Malik :

قَالَ أَنَسٌ: «لَقَدْ رَأَيْتُ أَحَدَنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ، وَلَوْ ذَهَبْتَ تَفْعَلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ لَتَرَى أَحَدَهُمْ كَأَنَّهُ بَغْلٌ شَمُوسٌ»

“Anas bin Malik berkata : Sungguh aku melihat salah satu dari kami melekatkan pundaknya dengan pundah sahabatnya, kakinya dengan kaki sahabatnya. Seandainya hari ini kami melakukan hal ini lagi, sungguh kamu akan melihat salah satu dari mereka seperti bighal (peranakan kuda dan keledai) yang menentang/melawan.”[ 6/381 ].

»Kedua : Makna melekatkan di situ bukan makna hakiki, akan tetapi makna majazi, artinya penyangatan dalam lurus dan rapat. Bukan benar-benar nempel.

»Ketiga : Itu dilakukan hanya untuk wasilah (perantara) meluruskan dan merapatkan shaf saja. Jika sudah lurus, maka tidak nempel lagi. Lihat keterangan sebelumnya dari ucapan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin –rahimahullah-.

[4]. Amaliah merapatkan mata kaki dengan mata kaki dan pundak dengan pundak ketika bershaf, tidak mungkin akan konsisten. Karena jika konsisten, mereka harus melakukannya dalam seluruh keadaan ketika shalat, dari takbir pembukaan sampai salam. Dan ini perkara yang tidak mungkin terwujud seperti ketika posisi sujud, atau duduk di antara dua sujud, atau duduk tasyahhud (awal ataupun akhir), dan yang lainnya. Ini semua justru menjadi indikasi tambahan, bahwa dibutuhkan celah/jarak dalam bershaf.

[5]. Para ulama kibar di Saudi pun tidak mengamalkan tata cara merapatkan shaf sebagaiman yang diamalkan oleh sebagian kecil muslimin di Indonesia ini. Bisa disaksikan lewat video atau gambar. Tentunya amaliah mereka didasarkan kepada ilmu dan bukan kejahilan.

Kesimpulan :

1]. Meluruskan dan merapatkan shaf dalam shalat, perkara yang disyari’atkan. Dan hukumnya sunnah menurut jumhur ulama’, tidak sampai derajat wajib.

2]. Meluruskan dan merapatkan shaf tidak dengan menempelkan mata kaki dengan mata kaki dan pundak dengan pundak. Akan tetapi dengan sedikit jarak antara keduanya. Dimana jaraknya tidak terlalu luas tapi juga tidak sampai nempel. Sekitar empat jari atau satu jengkal (antara telapak kaki yang satu dengan yang lain, bukan pundak).

3]. Adanya celah yang dilarang, adalah celah yang cukup dipakai untuk satu orang atau lebih. Adapun jika kurang dari itu, maka boleh (lihat point no : 2).

4]. Merapatkan shaf dengan menempelkan mata kaki dengan mata kaki dan pundak dengan pundak, hukumnya makruh, karena akan menganggu orang lain dan mengurangi kekhusyu'an seorang dalam shalatnya.

Semoga bermanfaat.